Periodedalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima periode, era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3 Hukumyang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. "Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam," ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. kerajaanislam tidak menganut sistem kasta sehingga tidak ada perbedaan dalam pergaulan antara bangsawan dengan masyarakatnya. meskipun tidak ada perbedaan islam mengajarkan untuk saling mengormati antara raja dan rakyat dalam sistem pergantian raja pada kerajaan islam tidak menggunakan hak keturunan melaikan semua orang dapat menjadi raja jika Vay Tiền Nhanh. Mahasiswa/Alumni UIN Sunan Gunung Djati07 April 2022 1454Hai Zalfa A, kakak bantu jawab ya. Konsep kekuasaan di Kerajaan Islam Nusantara menggunakan gelar sultan untuk raja atau penguasa kerajaan. Untuk lebih jelasnya, yuk pahami penjelasan berikut. Perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia memiliki konsep tersendiri dalam pemerintahaannya, terutama pada konsep kekuasaan. Penguasa Kerajaan Islam di Nusantara, menggunakan gelar sultan sebagai gelar raja atau penguasa kerajaannya. Gelar sultan sendiri berbeda dengan gelar raja pada umumnya yang lebih cenderung netral dan sekuler, sultan pada masa kerajaan Islam raja dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia. Hal ini membuat pemimpin atau penguasa pada Kerajaan Islam memiliki karakter pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual. Semoga membantu yaa... Seorang penjahat di Aceh yang mendapat hukuman potong tangan dan kaki. Foto repro "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680" karya Anthony Reid. Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun, ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya penerapan syariat Islam. “Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,” kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis 6/4. Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales EHESS Paris, Prancis. Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus, Tapanuli Tengah. Claude Guillot, salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259. Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya, penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui dari Alquran maupun hadis. “Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang. Ayang menjelaskan bahwa di Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang. Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata Ayang. Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam hanyalah hukum pernikahan. Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu. Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci. Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya. [pages] Hukuman sula yang kejam juga diberlakukan bagi perzinaan dan pembunuhan. Hukuman ini dilakukan dengan mendirikan bambu runcing. Laki-laki yang bersalah akan ditancapkan pada bambu runcing itu dari bagian belakang hingga tembus ke mulut. Sedangkan pada perempuan, bambu runcing ditancapkan dari bagian depannya hingga tembus ke mulut. Untuk kasus pembunuhan, hukum di Aceh akan mengganjar seorang pembunuh dengan hukuman yang sesuai dengan yang dia lakukan ketika membunuh. Ini menurut kesaksian pelaut Prancis, FranÇois Martin de Vitr yang menjelajah ke Sumatera pada sekira 1601-1603 dan tinggal di Aceh selama lima bulan. Ancaman lainnya, sang pembunuh akan ditangkap lalu ditidurkan untuk selanjutnya dilempar ke atas oleh gajah dan ditangkap oleh gadingnya. Dia kemudian kembali dilempar untuk kemudian diinjak-injak. Kalau bukan itu hukumannya, si pembunuh akan dimasukkan ke kandang macan. “Padahal di Alquran untuk hukum pembunuh ada tiga qisas bunuh balas bunuh, uang tebusan, dan dimaafkan,” ungkap Ayang. Bahkan di Aceh, ketika itu mudah sekali memberlakukan hukum potong tangan dan kaki untuk kesalahan apapun. Ayang menceritakan, hal ini terjadi pada seorang panglima Tiku, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dia ketika itu tak menyerahkan kewajiban upetinya kepada Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan langsung mengambil pedang dan menebas kedua kaki bawahannya itu hingga batas lutut. “Pertanyaannya, apakah ada di hukum Islam? Tidak pernah ditemukan. Artinya apa? Ini hukum adat,” tegas Ayang. Meski begitu, menurut Ayang, bukan berarti hukuman itu merupakan hukum adat khas Aceh. Hukuman semacam ini lumrah ditemukan di belahan dunia lain. Misalnya, di Dinasti Mamluk Mesir yang berdiri sekira abad 13-16 dan Dinasti Khilafah Turki Usmaniah dari abad 16-20. Berdasarkan data sejarah yang ada, Ayang pun mengungkapkan, hukum Islam di Nusantara tak pernah ada formalisasi. Negara tidak menetapkan hukum yang harus diterapkan berdasarkan Alquran, hadis, atau pendapat para ulama. Hukum yang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. “Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam,” ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. Hukum Islam pada masa itu merupakan simbolisasi kekuasaan sultan, bahwa dia adalah cerminan wakil Tuhan. “Tetapi, saya melihat satu sisi dari hukum Islam yang dipraktikkan secara tulus yaitu terkait ibadah. Kalau pidana, ini kan sebenarnya simbol kekuasaan negaranya untuk menghukum rakyatnya. Itu hukum Islam, red 90 persen tidak dipraktikkan,” pungkas Ayang. [pages] - Islam diperkirakan mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-7 atau ke-8. Namun, Islam baru berkembang pesat di Indonesia pada abad ke-13. Agama Islam berkembang melalui kehadiran individu-individu muslim asing maupun penduduk pribumi yang telah memeluk saat itu, Islam tersebar luas hingga saat ini menjadi agama yang dipeluk mayoritas rakyat Indonesia. Masuknya agama Islam tidaklah bersamaan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara. Langkah penyebaran Islam mulai dilakukan secara besar-besaran ketika muncul para fase itu, kerajaan-kerajaan Islam baru mulai berdiri di Nusantara. Baca juga Masuknya Islam ke Nusantara Kerajaan Islam di Indonesia Ketika pengaruh Islam mulai menguat, kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri di Nusantara hingga mampu menggantikan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang telah lebih dulu berkuasa. Berikut ini daftar nama kerajaan Islam di Indonesia. Nama kerajaan Pendiri Letak Tahun berkuasa Raja terkenal Kerajaan Perlak Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Azis Syah Aceh Timur 840-1292 Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin II Kerajaan Samudera Pasai Marah Silu atau Sultan Malik Al-Saleh Lhokseumawe, Aceh 1267-1517 Sultan Mahmud Malik Az Zahir Kerajaan Gowa-Tallo Tumanurung Bainea Sulawesi Selatan 1300-1960 Sultan Hasanuddin Kerajaan Kutai Kartanegara Aji Batara Agung Dewa Sakti Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 1300-1960 Sultan Muhammad Idris Kerajaan Bone Manurunge ri Matajang Sulawesi Selatan 1330-1905 Arung Palaka Kerajaan Malaka Parameswara Selat Malaka 1405-1511 Sultan Mansur Syah Kerajaan Cirebon Pangeran Cakrabuana Cirebon 1430-1677 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Kerajaan Demak Raden Patah Demak, Jawa Tengah 1478-1561 Sultan Trenggono Kerajaan Ternate Sultan Zainal Abidin Ternate 1486-1914 Sultan Baabullah Kerajaan Tidore Sultan Ciriliyati alias Djamaluddin Tidore 1495-1967 Sultan Nuku Kerajaan Aceh Sultan Ali Mughayat Syah Banda Aceh 1496-1903 Sultan Iskandar Muda Kerajaan Selaparang Sayyid Zulqarnain Lombok 1500-an Prabu Rangkesari Kerajaan Banjar Raden Samudera atau Sultan Suriansyah Martapura, Kalimantan Selatan 1520-1905 Sultan Mustain Billah Kerajaan Banten Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Banten 1526-1813 Sultan Ageng Tirtayasa Kerajaan Pajang Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir Surakarta 1568-1587 Sultan Hadiwijaya Kerajaan Mataram Islam Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati Kotagede, Yogyakarta 1586-1755 Sultan Agung Kerajaan Bima La Kai Bima 1620-1958 Sultan Muhammad Salahuddin Kerajaan Deli Tuanku Panglima Gocah Pahlawan Tanah Deli 1632-1946 Sultan Ma'moen Al Rasyid Kerajaan Siak Sultan Abdul Jalil Riau 1723-1945 Raja Ismail Referensi Amarseto, Binuko. 2017. Ensiklopedia Kerajaan Islam di Indonesia. Yogyakarta Relasi Inti Media. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

terangkan mengenai konsep kekuasaan di kerajaan islam nusantara